Minggu, 12 April 2009

Mencintai Anak Autis - Dulu Susah Kosentrasi Sekarang Pandai Komputer (Bagian 1)


Pada diri Bagas, bocah 13 tahun itu, tidak tampak ”keanehan-keanehan” yang menjadi cap anak autis. Asal tahu saja, bacaan bocah tampan ini tergolong tidak biasa. Sebut saja The Magic Of Macromedia Director yang sempat ia pamerkan kepada SurabayaPost.

Tidak hanya buku-buku tentang dunia teknologi informasi (TI) yang Bagas kuasai, majalah-majalah masakan pun ia tahu. ”Saya yang cewek saja kalah sama dia. Dia sangat hafal resep-resep masakan nasional maupun internasional, sampai ke bumbu-bumbunya” ujar sang kakak, Goldie.

Mengubah anak autis menjadi cerdas, tentu bukan sim salabim. Ini bukan proses semudah membalik telapak tangan.

Hingga usia 3 tahun, Bagas tidak mau ngomong, tidak mau menatap mata, tidak mau dipeluk, dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Sebaliknya, dia benar-benar hiperaktif.

“Kalau dia buka kulkas, sudah deh... semua dicampur aduk. Beras dicampur dengan apa, air dicampur dengan apa, TV ditaruh di atas seperti di terminal,” cerita sang Bunda, Zubaidah.

Setahun kemudian, barulah pasangan Amat dan Zubaidah sadar bahwa ada gangguan pada anaknya. Bagas dinyatakan menderita sindrom autistik, bukan autis murni,

”Saya merasa dunia ini gelap setelah informasi dokter tentang diri Bagas. Apalagi saya memiliki riwayat susah memperoleh anak,” kata Zubaidah. Dia sempat down di masa-masa awal itu.

Namun, putus asa tak boleh dipelihara. Bagas pun dibawa ke Jakarta bertemu dengan Prof. Hembing. Bocah 4 tahun itu menjalani terapi tusuk jarum dan detoksifikasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan racun-racun atau merkuri dalam tubuh Bagas yang diduga menjadi penyebab autistik tersebut.

”Saya akui banyak mengonsumsi seafood saat mengandung Bagas,” kata Zubaidah.

Selain usaha medis, orangtua Bagas juga melakukan terapi sendiri di rumah agar anaknya tidak benar-benar terisolasi dari lingkungan. Pertama, dia diajari tentang warna.

”Ini sebentuk intervensi karena Bagas sendiri tidak mau mengenal kehidupannya. Dia raja cuek. Asal tahu saja, satu warna itu diperkenalkan dalam rentang waktu satu minggu. Setelah itu, baru saya perkenalkan pada bentuk-bentuk bangunan, alat-alat transportasi,” kata sang mama. ”Saat itu semua benar-benar all out, istilahnya menangis dengan airmata darah karena Bagas benar-benar tidak mau fokus atau konsen,” lanjutnya.

Mendidik anak autis jelas bukan perkara mudah. Apalagi, Zubaidah dan suaminya berpacu dengan waktu. Mereka harus memaksimalkan golden period usia 3-5 tahun. Lepas dari itu, keracunannya sudah menyebar dan kemampuan syarafnya untuk menyerap informasi sanagt lemah.

Agar Bagas bisa konsen, terapi dilakukan dalam sekat kotak yang hanya diisi 2 kursi. Satu untuk bapaknya yang memangku Bagas, satu lagi untuk sang ibu yang bertindak sebagai guru. Saat ibu mengucap warna “merah“, bapaknya membantu meletakkan tangan Bagas pada sarana yang berwarna merah.

“Kami seperti mengajari lumba-lumba. Setelah itu Bagas diberi rewards atas usahanya” lanjut perempuan yang akrab disapa Bu Ida ini.

Usaha terapi Ida dan keluarganya sedikit berhasil ketika Bagas mulai masuk ke TK umum. Tentu saja Ida lebih dulu berkoordinasi dengan guru dan teman-teman Bagas. Termasuk, memberi jaminan bahwa apa pun peralatan yang dirusak Bagas akan ia ganti karena memang demikianlah kondisi anaknya.

“Walau bukan miliknya, Bagas tidak peduli. Apa yang ada di depannya, prinsipnya itu punya dia. Untunglah guru, teman-teman, dan walimurid yang lain sudah paham itu dan malah ngemong Bagas. Teman-temanya selalu cerita ke saya, ‘Tante, penggarisku dipatahkan Bagas’, ‘Tante, crayonku dirusak Bagas’. Saya tidak pernah marah, justru saya senang semuanya bisa diajak koordinasi untuk kemajuan anak saya,” tambah Ida yang memang mengaku menjadi orang tua istimewa karena dikaruniai anak yang istimewa.



Bukan Rahasia

Bagi Zubaidah, sindrom autistik yang diderita anaknya bukanlah rahasia. Malah, dia selalu menjelaskan tentang keadaan anaknya. Dia yakin sindrom autistik bukan kartu mati.
Sindrom ini hanya membuat penderitanya merasa tidak butuh apa pun. ”Kami menggiringnya bahwa dia butuh teman, butuh komunikasi. Kalau dia banyak input, maka output juga banyak,” kata Zubaidah.

Maka, pontang pantinglah dia seperti orang gila. Setiap informasi apa pun, termasuk produk-produk tertentu, logo-logo tertentu, lambang negara-negara dan lainnya, dia gunting dan dia kenalkan pada Bagas berulang-ulang.

Kini, semua tinggal kenangan. Bocah istimewa itu kini tumbuh remaja. Ketabahan dan keteguhan keluarganya membuat Bagas menjadi manusia mandiri yang mampu mengatur dirinya sendiri. Bagas yang hobi membaca dan menulis itu kini mulai lihai membuat aplikasi-aplikasi komputer. Bahkan dia memiliki koleksi komik humor.

“Saya belikan software dan bukunya, dia sudah jalan sendiri. Tdak pernah ada yang mengajari. Memang ini kabar dari langit. Allah sudah memberikan. Siapa pun orangnya, apa pun bentuknya, pasti oleh Allah diberi bekal untuk hari depannya. Tinggal kita sendiri, mau menggali atau tidak.

Kemampuan Bagas memang luar biasa. Politeknik Surabaya bahkan menawari dia menjadi mahasiswa kehormatan untuk belajar 3D di sana.

Menurut Zubaidah, Allah sudah menyediakan bagi anak-anak seperti Bagas bakat yang kalau kita cari bisa melebihi anak lain atau anak normal. ”Jadi, ada celah yang bisa dimaksimalkan,” katanya.

Zubaidah mengakui anaknya belum sembuh betul. Tapi kemampuan komunikasinya dan mutu kehidupannya sudah mengalami peningkatan cukup signifikan beberapa tahun belakangan.

Di akhir perbincangan, Ida berpesan kepada orangtua anak penderita autisme dan masyarakat umum agar anak autis tidak dianggap aneh. Autisme bukan penyakit jiwa, ia hanya gangguan perkembangan jiwa.

”Autisme adalah ujian untuk orangtuanya dan lingkungannya, namun berbuah manis di kemudian hari kelak,” ujarnya.

Sumber: Surabaya Post

Comments :

0 komentar to “Mencintai Anak Autis - Dulu Susah Kosentrasi Sekarang Pandai Komputer (Bagian 1)”

Posting Komentar

Yahoo! Messenger

 

Copyright © 2009 by Ocean Blue