Minggu, 12 April 2009

Mencintai Anak Autis - Rindu Pelukan (Bagian 2.habis)


Hal ini disadari betul pasangan Amat dan Zubaidah yang memilik anak penderita sindrom autistik, Jihad Bagas Cakra (13).

Agar anaknya tak terkucil, pasutri ini memasukkan Bagas ke TK umum. Tentu saja Ida lebih dulu berkoordinasi dengan guru dan teman-teman Bagas. Termasuk, memberi jaminan bahwa apa pun peralatan yang dirusak Bagas akan ia ganti karena memang demikianlah kondisi anaknya.

“Walau bukan miliknya, Bagas tidak peduli. Apa yang ada di depannya, prinsipnya itu punya dia. Untunglah guru, teman-teman, dan walimurid yang lain sudah paham itu dan malah ngemong Bagas. Teman-temanya selalu cerita ke saya, ‘Tante, penggarisku dipatahkan Bagas’, ‘Tante, crayonku dirusak Bagas’. Saya tidak pernah marah, justru saya senang semuanya bisa diajak koordinasi untuk kemajuan anak saya,” tambah Ida yang memang mengaku menjadi orang tua istimewa karena dikaruniai anak yang istimewa.

Bagi Zubaidah, sindrom autistik yang diderita anaknya bukanlah rahasia. Malah, dia selalu menjelaskan tentang keadaan anaknya. Dia yakin sindrom autistik bukan kartu mati.
Sindrom ini hanya membuat penderitanya merasa tidak butuh apa pun. ”Kami menggiringnya bahwa dia butuh teman, butuh komunikasi. Kalau dia banyak input, maka output juga banyak,” kata Zubaidah.

Maka, pontang pantinglah dia seperti orang gila. Setiap informasi apa pun, termasuk produk-produk tertentu, logo-logo tertentu, lambang negara-negara dan lainnya, dia gunting dan dia kenalkan pada Bagas berulang-ulang.

Kini, semua tinggal kenangan. Bocah istimewa itu kini tumbuh remaja. Ketabahan dan keteguhan keluarganya membuat Bagas menjadi manusia mandiri yang mampu mengatur dirinya sendiri. Bagas yang hobi membaca dan menulis itu kini mulai lihai membuat aplikasi-aplikasi komputer. Bahkan dia memiliki koleksi komik humor.

“Saya belikan software dan bukunya, dia sudah jalan sendiri. Tdak pernah ada yang mengajari. Memang ini kabar dari langit. Allah sudah memberikan. Siapa pun orangnya, apa pun bentuknya, pasti oleh Allah diberi bekal untuk hari depannya. Tinggal kita sendiri, mau menggali atau tidak.

Kemampuan Bagas memang luar biasa. Politeknik Surabaya bahkan menawari dia menjadi mahasiswa kehormatan untuk belajar 3D di sana.

Menurut Zubaidah, Allah sudah menyediakan bagi anak-anak seperti Bagas bakat yang kalau kita cari bisa melebihi anak lain atau anak normal. ”Jadi, ada celah yang bisa dimaksimalkan,” katanya.

Zubaidah mengakui anaknya belum sembuh betul. Tapi kemampuan komunikasinya dan mutu kehidupannya sudah mengalami peningkatan cukup signifikan beberapa tahun belakangan.

Di akhir perbincangan, Ida berpesan kepada orangtua anak penderita autisme dan masyarakat umum agar anak autis tidak dianggap aneh. Autisme bukan penyakit jiwa, ia hanya gangguan perkembangan jiwa.

”Autisme adalah ujian untuk orangtuanya dan lingkungannya, namun berbuah manis di kemudian hari kelak,” ujarnya.



Sekolah Inklusi

Pemahaman yang sama dimiliki para guru di SDN Inklusi Klampisngasem 1 Surabaya. Sebagai sekolah inklusi, mereka menerima siswa berkebutuhan khusus, termasuk para penyandang autisme dan sindrom autistik.

SDN Klampisngasem 1 menjadi sekolah inklusi sejak 2003. Meski demikian, sekolah ini sejak 1989 sudah menerima siswa berkebutuhan khusus dan pertama kali menerima siswa autis pada 2000.

Di sekolah ini, siswa autis dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kelompok paling ringan adalah penyandang autisme yang tidak disertai penurunan kemampuan intelektual (autis gangguan konsentrasi). Pada kelompok berat, autisme dibarengi penurunan kemampuan intelektual atau autis dengan kelainan lain (double handicap).

“Karena jenisnya beragam, pelaksanaan pembelajarannya juga dibedakan,” ujar Dadang Bagoes Prihantono, Koordinator Penyelenggara Pendidikan Inklusi di SDN Klampis Ngasem 1.

Selain mendidik anak, sekolah juga perlu “mendidik” orangtua anak autis. Maklum, masih banyak di antara mereka yang belum memiliki tingkat pemahaman yang benar. Sebagian bahkan malu memiliki anak penyandang autis.

Hal ini terlihat, misalnya, dari para pendamping anak-anak itu. Saat Surabaya Post mengujungi sekolah ini, yang mendampingi anak-anak ini bukanlah orangtua atau keluarga mereka, tapi justru pembantu, baby sitter, atau terapisnya.

Mereka seperti anak yang dititipkan di sebuah pondok pendidikan, yang beberapa saat nantinya orangtua bisa melihat anaknya sembuh secara total dengan biaya yang memang tidak murah.

Digigit, ditendang, dipukul adalah makanan sehari-hari para pendidik anak-anak autis.

”Mereka sulit dikendalikan, susah untuk konsentrasi. Bahkan kalau sudah tantrum atau emosinya meningkat, kadang kami juga kewalahan,” kata Sutrisno, guru autis di SDN Klampis Ngasem 1 Surabaya.

Saat Surabaya Post memasuki salah satu ruangan di kelas khusus, ada beberapa anak yang memeluk gurunya sangat erat seolah tidak mau dilepas. Ada anak yang manja untuk disuapi atau manja minta digendong. Sepertinya mereka jarang memperolehnya di rumah.

Karena itu, lulusan IAIN ini awalnya sempat stress melihat tingkah laku anak didiknya. Tapi itu semua hanya terjadi di bulan-bulan pertama mengajar. Selanjutnya dia mampu mengendalikan pola laku anak didiknya.

Menurut Sutrisno, anak-anak ini bukanlah anak-anak yang aneh. Mereka justru anak-anak istimewa.

Sumber: Surabaya Post

Comments :

0 komentar to “Mencintai Anak Autis - Rindu Pelukan (Bagian 2.habis)”

Posting Komentar

Yahoo! Messenger

 

Copyright © 2009 by Ocean Blue